Antara Egois dan Pilihan

“Bukannya saya ingin mengakhiri hubungan kita untuk menjadi lebih dari teman, di.”

Radi tersenyum simpul. “Lalu kamu berharap saya mempertahankan status teman saat ego saya ingin kita lebih dari sekedar kawan?”

“Bukan itu. Kamu ngerti maksud saya, kan?” Aku masih mempertahankan argumen, membela diri.

Radi menggeleng, aku kian cemas.

“Kamu tahu dari awal, perhatianku bukan untuk menarik perasaan hatimu. Pengertianku bukan untuk memancing sayangmu. Mengapa sekarang setelah sekian musim bergulir hubungan kita mulai melibatkan perasaan yang lain?”

“Sejak kapan ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan yang tidak melibatkan perasaan di dalamnya?”

Kali ini aku yang diam, tidak menemukan jawaban yang tepat. Radi masih di ujung meja, mempertahankan raut wajahnya yang tidak bisa kuterka. Sedangkan teh panas di hadapan kami mulai mendingin, sedingin hati kedua insan yang membiru untuk alasan yang tak sama.

Aku menghela nafas, “saya sayang kamu Radi. Tapi kamu tahu sayang kita berbeda. Bukan berarti saya menginginkan kamu untuk jauh dari saya. Nanti siapa yang menjemput saya dari stasiun kalau saya pulang kampung?” Tanya saya  sedikit bercanda untuk mencairkan suasana.

“Laki-laki pilihanmu yang lain mungkin. Sudahlah, kita hanya berputar-putar di lingkaran yang sama, bukankah begitu?” Radi menyeruput kopi hitamnya.

“Radi, tidak bisakah kita tetap seperti ini? Tidak ada yang berubah dan tidak perlu adanya persetujuan atau penjelasan?”

“Dan saya harus selalu waswas apabila ada laki-laki lain yang siap memberimu komitmen persetujuan atau penjelasan brengsek itu?”

“Puaskah kamu memposisikan saya jadi wanita antagonis disini.” Emosi mulai menenggelamkan kesabaranku.

“Tidak. Kamu egois, skeptis, dan luar biasa penuh cinta. Itu yang membuat kamu jahat, bukan saya. Tapi kamu.”

“Di dunia yang penuh prasangka, tidak bolehkah saya jadi egois sesaat?”

Radi menatap bingung.

“Ya saya ingin jadi wanita egois. Saya ingin kamu tetap di sisi saya tanpa melebihi batas yang kamu harapkan. Saya mungkin berjodoh dengan laki-laki lain tapi saya ingin kamu tetap memiliki tempat di hati saya. Saya mau kamu yang menemani saya setiap saya kembali ke kota. Saya mau kamu yang mengajak saya makan ketika kamu lapar tengah malam. Saya mau menjadi tempat kamu berkeluh kesah. Saya tetap mau jadi sesuatu bagi kamu.”

Radi tidak menjawab untuk beberapa saat. Membiarkan keheningan memberi makan jiwa-jiwa yang lelah akan perkara.

“Baik. Mari sama-sama berdelusi. Tapi untuk saat ini, biarkan saya menyerah pada waktu. Satu jam terakhir kita habiskan untuk melempar pertanyaan padahal kita sama sama paham kita lebih butuh jawaban. Sebulan terakhir kita seperti daun yang terbawa angin, pasrah terserah mau dibawa kemana. Hingga akhirnya sampai disini. Oh tidak, saya harap ini bukan tempat berakhir. Takdir selucu ini, mempertemukan namun tidak menyatukan.”

Radi bangkit berdiri meninggalkan aku dan setengah dari jantungku yang semacam hilang seiring punggung Radi menghilang dari pandangan.

Andai kamu tahu kita berbeda, Radi. Bukan soal pilihan hidup. Mulai dari prinsip hingga eksistensi. Kita hidup di dunia dimana persetujuan dan penjelasan adalah hal yang krusial dan kompleks. Dan, saya sendiri belum siap untuk mengesampingkan kata dunia.









-salam manis susu coklat
Fragmen 1

Komentar

Postingan Populer