Andai Kamu Tahu

Duduk di sebelahmu tentu membuat rasa nyaman menyeruak memenuhi rongga dadaku. Tapi di saat yang sama, kegelisahanku mungkin bisa tertulis jelas di dahiku. Aku diam, memilih tidak banyak bicara. Jalan macet di hadapan kita saat ini seakan lebih menyita perhatian. Walau sebenarnya pikiranku terus berceloteh, memuji kamu yang sibuk menyetir di sebelahku. Andai kamu tahu.

"Diam saja, tumben," kamu menoyor kepalaku pelan. Aku tidak komentar, hanya tersenyum tipis. Hanya kamu yang kuperbolehkan melakukan hal itu. Jika ada lelaki lain yang berani menyentuh ujung rambutku walau hanya setitik, akan kubalas dengan sebuah tonjokkan dariku. Katanya, itulah yang menyebabkan aku masih sendiri sampai saat ini. Disaat teman-temanku yang lain punya pasangan untuk bermalam minggu dan lagi-lagi aku ditinggalkan sendiri. Aku galak, katanya. Andai kamu tahu.

Hei, mereka tidak tahu saja. Aku juga punya pasangan malam minggu. Kamu, Pras. Sadarkah kita selalu bersama tiap sabtu malam? Kamu akan menjemputku tanpa meminta persetujuan dan langsung mengajakku makan di sebuah kedai makan pinggir jalan. Atau hanya sekedar saling berbagi cerita di pojok kedai kopi hingga malam. Kita selalu menjadi alasan satu sama lain untuk menolak ajakkan teman-teman untuk bermalam minggu bersama. Entah karena kita muak melihat mereka saling berbagi sayang, atau karena kita malas untuk menghadapi pertanyaan yang sama. Andai kamu tahu.

Aku selalu suka pribadimu yang tidak banyak tanya. Kamu akan membiarkanku diam dengan pikiranku hingga aku siap membaginya denganmu. Kamu bukan pemaksa, tidak seperti mereka. Kendati demikian, kamu akan berceloteh mengenai bodohnya manusia yang tidak sabaran menunggu lampu merah berganti menjadi hijau. Jujur, sebenarnya aku tidak peduli tentang analisismu mengenai kemacetan yang tidak kunjung terselesaikan. Aku peduli dengan hatimu dan kepada siapa kamu menaruh perasaanmu. Andai kamu tahu.

Waktu di mobil ini terasa semakin lama. Kamu terus bicara. Hingga tiba, aku hanya memberi tawa. Aku butuh udara. Kamu bicara lagi, berusaha membunuh sepi. Ruang ini terasa semakin kecil. Tapi aku berteman dengan sepi, Pras. Andai kamu tahu.

"Kita sudah sampai, akhirnya terbebas dari manusia-manusia berotak rendahan. Punya mobil bagus tapi tidak paham aturan berkendara." Aku turun ketika mobil sudah terparkir sempurna di sebuah kedai kopi langganan kami. Berjalan beriringan sambil masih terlibat dengan monolog dengan diriku sendiri.

Kita ini apa, Pras?
Saling berbagi atau membohongi asa?
Saling memberi, menipu atau melempar perasaan?
Andai kita tahu.
Apa kita punya rasa yang sama,
Atau kita hanya sengaja terjebak dalam permainan yang kita buat sendiri?









-salam manis susu coklat
Fragmen 5

Komentar

Postingan Populer