Getun

Halo, Jo. Iya, aku singkat namamu dengan inisial saja ya, agar tidak ada yang tahu kamu siapa dan apa hubunganku denganmu, dulu. Kamu sendiri yang bilang bukan, kalau orang-orang terlalu ingin ikut campur. Kamu mau hanya kita berdua yang mengerti, dan aku setuju. Tapi maaf, aku terpaksa menulis ini beberapa bulan yang lalu tepat di malam kita saling mengucapkan salam perpisahan. Karena hanya melalui tulisan ini, hatiku bisa terobati, setidaknya sedikit. Mungkin kamu tidak akan pernah membaca ini, aku harap kamu baik-baik saja.

Jo,
Malam itu aku bertemu kamu. Kamu dengan puisimu. Kamu yang abu-abu, penuh bayang dan semu. Malam itu aku bertemu kamu. Kita bercakap, mengharap akhir yang bahagia, bukan tabu.

Tapi kita termakan ego masing-masing. Kamu dengan hasratmu, aku dengan harga diriku. Mau sampai kapan berdebat, kita tidak bisa bersatu. Walau hati menjerit pilu, berpikir rasional hanya bisa jadi jalan keluar.

Tanyaku kesekian kalinya pada dunia, kenapa alam semesta jahat dengan kita? Apa yang telah kita perbuat di masa lalu hingga hanya hukuman yang kita dapat?

Maafkan aku berbohong. Aku tidak bisa menghapus dirimu dari kenangan. Karena hanya itu sisa yang aku bisa bawa. Aku minta maaf untuk sama sama kecewa dengan jiwa yang telah patah.

Kita berjanji malam ini hanya milik kita. Andai saja aku bisa mengenalmu lebih jauh lagi. Andai saja jarak bukan lagi jadi persoalan. Andai saja kita berakhir seperti pasangan lain. Andai saja ada pilihan lain yang bisa diambil.

Andai saja ada kesempatan kedua

Andai saja malam ini hanya malam kelabu biasa

Ini bukan lagi soal penyesalan,
Ini protesku kepada dunia,
Bahkan jika aku seorang murtad, aku tidak pernah mengharap apapun. Selain bisa bertemu lagi denganmu di malam yang lain. Saat kita sudah sama sama siap menghadap konsekuensi dari pilihan kita untuk mengesampingkan kata dunia.









-salam manis susu coklat
Fragmen 3 

Komentar

Postingan Populer