Terpanggil
Suatu senja di awal febuari, kita akhirnya bertemu. Di sudut tepian kota, setelah sekian musim berganti, setelah sekian rindu terbuang, setelah beribu rasa menyapa.
“Apa kabar??” Bibirmu bergerak di menit ke 11:17 tanpa nada bersalah.
‘Sakit, gelisah, cemas, patah, rapuh, sendiri, sepi, takut.’ dan ratusan adjektif lain yang bisa mendefinisikan perasaanku saat ini. Batinku berteriak, marah.
Tapi bukan itu yang ingin aku sembunyikan dari bisingnya dunia.
Bukan pula hal yang akan kusampaikan pada mereka.
Terlebih karena aku terlanjur termakan doktrin gadungan.
Jadi pilihanku berakhir pada,
“masih hidup, untungnya.”
Lalu di menit ke 30:00 suara hujan menggantikan keheningan dan kita menyendiri dengan pikiran. Aku curiga, apa yang ada dalam kepala yang dulu sering kusentuh itu?
Kamu ingat secangkir cokelat panas,
Dan adiksiku terhadap puisi.
Kini berganti jadi,
Sebuah kopi berampas
Dan langit tanpa sisi.
Larut,
Kopi yang kita seduh telah habis.
Bersama menunggu awan yang menangis.
Apa kamu masih mau cokelatmu yang laris?
Atau memilih kopiku yang hanya meninggalkan pahit diantara manis?
Atau... kamu sudah menyeduh minumanmu yang lain?
Hujan di senja awal febuari,
Meninggalkan luka atau menghapus duka?
Menahanmu bukan pilihan,
Tapi meninggalkanmu bukan keputusan.
Entah apa yang semesta permainkan,
Mari sama-sama berjanji,
Jangan terikat cinta yang punya tangga kadaluarsa.
-salam manis susu coklat
Fragmen 2
“Apa kabar??” Bibirmu bergerak di menit ke 11:17 tanpa nada bersalah.
‘Sakit, gelisah, cemas, patah, rapuh, sendiri, sepi, takut.’ dan ratusan adjektif lain yang bisa mendefinisikan perasaanku saat ini. Batinku berteriak, marah.
Tapi bukan itu yang ingin aku sembunyikan dari bisingnya dunia.
Bukan pula hal yang akan kusampaikan pada mereka.
Terlebih karena aku terlanjur termakan doktrin gadungan.
Jadi pilihanku berakhir pada,
“masih hidup, untungnya.”
Lalu di menit ke 30:00 suara hujan menggantikan keheningan dan kita menyendiri dengan pikiran. Aku curiga, apa yang ada dalam kepala yang dulu sering kusentuh itu?
Kamu ingat secangkir cokelat panas,
Dan adiksiku terhadap puisi.
Kini berganti jadi,
Sebuah kopi berampas
Dan langit tanpa sisi.
Larut,
Kopi yang kita seduh telah habis.
Bersama menunggu awan yang menangis.
Apa kamu masih mau cokelatmu yang laris?
Atau memilih kopiku yang hanya meninggalkan pahit diantara manis?
Atau... kamu sudah menyeduh minumanmu yang lain?
Hujan di senja awal febuari,
Meninggalkan luka atau menghapus duka?
Menahanmu bukan pilihan,
Tapi meninggalkanmu bukan keputusan.
Entah apa yang semesta permainkan,
Mari sama-sama berjanji,
Jangan terikat cinta yang punya tangga kadaluarsa.
-salam manis susu coklat
Fragmen 2
Komentar
Posting Komentar