Angin Meniup Awan Yang Kelabu
Kemarin, aku duduk termenung di pinggir jendela putih,
ditemani secangkir teh hangat beraroma melati.
Aku menatap perlahan angin membawa pergi awan yang kelabu,
memperlihatkan matari dan bibir langit yang asyik bercumbu.
Aku tahu,
Senja, seharusnya tidak semenyakitkan di kala itu.
Seketika, aku lupa bahwa jam di dinding yang terus berputar menandakan waktu terus berjalan meninggalkan angan.
Perihal waktu itu tidak berperasaan,
dia pergi tiada kembali tanpa pesan.
Dan jantungku,
jantungku berpacu bersamaan,
dengan jam berdetik yang terus berdetak.
Terkadang kita lupa bahwa kita bernafas dua puluh empat jam tanpa henti.
Yang kita rasakan hanya hembusan anginnya yang hangat di atas bibir saat kita sadar sendiri.
Lalu seiring umur bertambah, sadarlah pula bahwa hidup bukan hanya tentang yang datang pulang kembali, namun yang pergi meninggalkan juga selalu mengiringi.
Aku paham,
manusia mudah terlena pada dunia.
Cepat atau lambat,
satu per satu akan pergi.
Seperti putaran jam di beranda yang tidak akan memutar kembali waktu.
Menyisakan penyesalan yang bertingkah seperti ratu.
Sekarang atau nanti,
kitapun lupa seberapa bermaknanya dia yang pergi.
Seperti kita yang lupa pada seberapa berartinya nafas yang kita hembuskan sampai saat ini.
Dan aku ingat pada akhirnya,
Yang pergi akan kembali.
Yang sakit akan terobati.
Yang badai akan berhenti.
Yang iri akan berganti.
Yang mimpi akan berarti.
Yang berjuang akan menjadi.
Yang rindu akan menanti.
Yang mencinta akan menghapus yang membenci.
-salam manis susu coklat
#Universechild
Komentar
Posting Komentar